Nasib masyarakat adat di indonesia: terabaikan, termarginalisasi, tidak punya perlindungan hukum yang jelas
Nasib masyarakat adat di indonesia: terabaikan, termarginalisasi, tidak punya perlindungan hukum yang jelas"
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID
Play all audios:
_Tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Agustus setiap tahunnya_ Sejarah peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia
diawali oleh gagasan delegasi suku adat asli Amerika Serikat (AS) pada Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1977. Gagasan tersebut muncul dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan
hak-hak suku adat, di tengah gempuran budaya dan konstitusi AS yang dibawa oleh kaum kulit putih Eropa atau dikenal dengan istilah “_white-washing_”. Namun, hari peringatan tersebut baru
diresmikan oleh PBB pada Sidang Umum PBB tahun 1994. Tujuan dari deklarasi tersebut adalah untuk memperkuat kerja sama internasional antarnegara dalam mengatasi permasalahan masyarakat adat,
yang mencakup masalah perlindungan hak asasi manusia (HAM), lingkungan, pembangunan, pendidikan, dan kesehatan, serta membawa harapan akan perubahan yang lebih baik bagi pengakuan dan
perlindungan hak-hak masyarakat adat. Menurut catatan Organisasi Perburuhan Internasional (_International Labour Organization_/ILO), hingga tahun 2019, jumlah masyarakat adat di dunia
mencapai 476,6 juta jiwa. Terlepas dari adanya deklarasi internasional terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, dalam konteks Indonesia secara khusus, isu ini masih belum
terselesaikan dan seringkali terabaikan. KEKOSONGAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT Menurut Aliansi Masyakat Adat Nusantara (AMAN), meskipun Indonesia memiliki lebih dari 365
sub-etnis dan lebih dari 500 bahasa, pemerintah belum memiliki data resmi mengenai jumlah masyarakat adat di Indonesia yang masih eksis sampai saat ini. Keberadaan masyarakat adat di
Indonesia baru diakui dalam aturan negara pada pascareformasi. Hal ini dilakukan melalui amandemen kedua UUD 1945 yakni Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 yang mengatur hak-hak masyarakat adat
untuk mengelola sumber dayanya, dan Pasal 28I Ayat (3) mengenai identitas budaya dan hak-hak tradisional. Ironisnya, dua pasal tersebut belum diterapkan secara efektif untuk mengatasi
masalah-masalah yang saat ini dihadapi oleh masyarakat adat. Definisi yang jelas tentang masyarakat adat pun belum ada. Selain UUD 1945 tersebut, belum ada aturan turunan lain tentang
masyarakat adat. Sejak periode 2014-2019, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI masih menggodok Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat. Namun, RUU ini belum juga disahkan, seakan
menunjukkan tidak adanya kemauan politik baik dari presiden maupun DPR untuk menjaga kelestarian budaya, adat istiadat, dan tanah adat. Tidak adanya aturan hukum yang pasti membuat posisi
masyarakat adat di Indonesia berada di zona abu-abu. Konsekuensinya, masyarakat adat kerap mengalami diskriminasi dan marginalisasi ekonomi, sosial, dan budaya. MARGINALISASI TERHADAP
MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA Konsep nasionalisme merupakan salah satu titik awal permasalahan yang dihadapi masyarakat adat Indonesia saat ini. Ide nasionalisme sebagai suatu konsep untuk
mempersatukan bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan telah memaksakan ‘integrasi’ identitas kebangsaan yang kemudian justru menepikan identitas kesukuan. Selain itu, identitas kebangsaan
yang digalakkan pada masa orde baru cenderung bersifat Jawa-sentris, sehingga pada akhirnya mengesampingkan identitas budaya-budaya dan adat-adat lain di luar kebudayaan Jawa. Hal ini
berdampak pada disalahartikannya konsep nasionalisme sebagai keseragaman oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Keseragaman yang disalahartikan tersebut kemudian menciptakan pandangan yang
kontras antara konsep nasional dengan tradisional, terutama dalam ranah sosial. Masyarakat adat yang erat dengan karakteristik tradisional diasosiasikan dengan kemunduran dan mendapatkan
stigma negatif dari masyarakat yang karakteristiknya lebih “nasional”. Para kelompok masyarakat adat juga kerap dianggap tidak menjunjung tinggi konsep nasionalisme, beberapa alasannya
adalah karena tidak menggunakan bahasa nasional dan tidak memeluk agama yang diakui pemerintah. Kebanyakan dari masyarakat adat biasanya menganut agama-agama asli nusantara atau aliran
kepercayaan adat tertentu, seperti Sunda Wiwitan (yang dianut masyarakat adat Sunda) dan Kejawen (atau agama Jawa). Negara bahkan tidak mengakui aliran-aliran kepercayaan itu sebagai agama.
Dari praktik itu saja kita sudah dapat melihat bagaimana pemerintah melakukan diskriminasi melalui konsep ketuhanan dan beragama secara struktural. Tidak diakuinya agama-agama lokal dan
kepercayaan leluhur masyarakat adat tersebut berdampak pada stereotip negatif, sanksi sosial, dan marginalisasi. Masyarakat adat kerap dipaksa untuk mengingkari identitas asli mereka dan
mengikuti norma yang dianggap lebih dapat diterima secara lebih luas di zaman modern ini. Jika hal ini terus terjadi, dalam beberapa generasi ke depan eksistensi masyarakat adat akan
berangsur punah. Secara budaya, keberadaan masyarakat adat juga sering kali hanya diakui secara simbolis sebagai upaya romantisasi semboyan negara, Bhinneka Tunggal Ika. Budaya dan tradisi
adat hanya dilihat sebagai eksotisme untuk menarik wisatawan tanpa menghiraukan dampak negatifnya pada masyarakat lokal. Contohnya adalah polemik Suku Baduy yang meminta dihapuskan dari
destinasi wisata pada tahun 2020. Masyarakat Suku Baduy merasa wisatawan yang datang kerap mengganggu tatanan adat mereka, mencemari lingkungan, dan menjadikan warga Baduy sebagai tontonan.
Polemik ini menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan wisata yang ramah masyarakat adat. Mereka merasa dieskploitasi dan diposisikan sebagai obyek wisata, tanpa
diberikan hak bersuara dan perlindungan hukum yang jelas. Secara ekonomi, masyarakat adat kerap menghadapi masalah terkait kepemilikan lahan dan hak pengelolaan sumber daya alam. Pasal 18B
ayat 2 dalam UUD 1945, yang menyatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya”, nyatanya bertolak belakang dengan praktik
di lapangan. Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, penambangan liar di berbagai wilayah di Sumatera dan Kalimantan, serta
masifnya penggundulan hutan untuk lahan perkebunan, adalah segelintir contoh nyata wujud marginalisasi ekonomi terhadap masyarakat adat, yang juga berimbas pada kerusakan lingkungan.
Marginalisasi tersebut juga diakibatkan oleh ketidakjelasan hak kepemilikan tanah secara hukum dan minimnya sosialisasi terkait dasar-dasar hukum agraria dari pemerintah pusat. KEPUTUSAN
YANG BERSIFAT SENTRAL-PERIFERAL Marginalisasi secara sosial, budaya, dan ekonomi yang dialami masyarakat adat menggambarkan bagaimana segala keputusan terkait keberlangsungan mereka saat ini
sangat bersifat sentral-periferal, yakni hanya berdasarkan sudut pandang sentral (pemerintah) dengan memposisikan masyarakat adat sebagai periferal – kaum marginal yang tidak memiliki suara
untuk menentukan nasibnya sendiri. Adanya organisasi seperti AMAN, meskipun sangat membantu dalam menyampaikan aspirasi masyarakat adat, sejauh ini masih mendapat perhatian minim dari
pemerintah. Wacana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Masyarakat Adat yang dikemukakan Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 guna menjembatani kepentingan masyarakat adat dan kebijakan
pemerintah hingga kini belum direalisasikan. Padahal, pembentukan Satgas tersebut memberi harapan bagi masyarakat adat agar pemerintah mendengar aspirasi mereka dalam pembuatan kebijakan.
Menilik balik pada sejarah awal dan tujuan deklarasi Hari Masyarakat Adat Internasional oleh PBB, sudah sepatutnya pemerintah merefleksi kembali permasalahan yang dihadapi masyarakat adat di
Indonesia saat ini dan mencari cara untuk dapat sepenuhnya mengakui keberadaan masyarakat adat di manapun serta melindungi hak-hak mereka.
Trending News
APA PsycNetLoading......
Industri makanan dan minuman diakselerasi menuju transformasi digitalJakarta (ANTARA) - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan bahwa industri makanan dan minuman adalah...
Preliminary jadi babak penentuan calon miss grand indonesiajpnn.com, JAKARTA - Ajang Miss Grand Indonesia 2018 telah melewati setengah perjalanan karantina dan mencapai babak prel...
Menlu kamboja dan thailand jumpai dulu menlu riJAKARTA - Persoalan perbatasan yang sempat membawa konflik bersenjata antara Kamboja dan Thailand, baru-baru ini, menjad...
Film terbaik oscar 2014-2018, the shape of water hingga moonlighttirto.id - Academy Awards ke-91 atau Piala Oscar 2019 akan diselenggarakan pada Minggu (24/2/2019) pukul 20.00 waktu set...
Latests News
Bukan everest, ini 5 fakta mauna kea sebagai gunung tertinggi di bumiTentu kamu sudah mengetahui jika Gunung Everest merupakan gunung dengan puncak tertinggi di dunia, bukan? Puncak Everest...
7 ideologi yang asing ini justru turut memengaruhi dunia modernFasisme mati dengan tusukan pancang di ulu hatinya. Komunisme — atau paling tidak dalam bentuk Marxis-Leninisnya — telah...
7 alasan itzy layak disebut rookie monster, prestasinya melimpah!Siapa sih yang gak kenal ITZY? Girlband baru asuhan JYP Entertainment ini disebut-sebut sebagai kandidat _rookie monster...
8 artis cowok ini ternyata pernah jadi member boyband lho!Dari sekian banyak nama _boyband_ di Indonesia, ada yang memilih untuk tetap bertahan sampai sekarang dan ada pula memut...
8 kota dunia yang jadi surga bagi pecinta arsitektur dan desainBukan hanya keinginan untuk melihat pemandangan alam yang indah, sebagian pelancong ada yang lebih tertarik dengan suasa...